Antiklimaks Bonek

Antiklimaks yang memalukan. Itulah akhir dari episode yang tengah dibangun Bonek, suporter Persebaya. Beberapa tahun terakhir, sejak kerusuhan 4 September 2006, Bonek menunjukkan citra positif. Tidak terdengar kabar adanya kerusuhan, bahkan saat Persebaya kalah di kandang sekalipun.

Namun, Rabu (6/5/2009), citra yang sudah dibangun susah payah remuk seketika. Kerusuhan yang terjadi di Gresik, saat Persebaya kalah 1-2 dari Gresik United, menunjukkan Bonek masih harus bekerja lebih keras lagi untuk memperbaiki citranya yang dikenal berangasan.

Apapun dalihnya, kerusuhan yang terjadi di Gresik patut dikecam dan tidak bisa ditoleransi. Sudah saatnya, suporter dan klub di Indonesia belajar lebih dewasa, dan bisa menerima hasil apapun yang diraih timnya tanpa mencari kambing hitam.

Dalam kondisi apapun, respek terhadap wasit seharusnya tetap dijunjung tinggi. Lihatlah bagaimana wasit yang memimpin pertandingan semifinal kedua Liga Champions, Chelsea melawan Barcelona, banyak mengeluarkan keputusan kontroversial. Protes muncul. Namun, pemain, pelatih, dan suporter kedua tim masih mampu menunjukkan rasa hormat.

Namun, baiklah, setidaknya ada pelajaran yang bisa dipetik dari kerusuhan di Gresik. Pertama, otoritas sepakbola Indonesia harus memiliki sensitivitas. Kendati menyalahkan wasit sebagai biang kekalahan bukanlah sikap sportif dan bisa diterima, namun otoritas sepakbola juga harus jeli dalam mengamati psikologi massa sehingga bisa meredam potensi kerusuhan.

Dalam pertandingan Gresik United melawan Persebaya, wasit yang ditunjuk memimpin pertandingan berasal dari Malang. Saya sepakat, wasit dari mana pun yang memimpin sebuah pertandingan seharusnya tak perlu dipersoalkan. Namun, pemilihan wasit dari Malang dalam sebuah pertandingan menentukan yang dilakoni Persebaya sangat riskan.

Sejak lama, suporter Surabaya antipati terhadap Malang dalam urusan sepakbola. Begitu pula sebaliknya. Sebaik apapun wasit memimpin pertandingan, akan selalu memunculkan kecurigaan dari suporter, sehingga mudah memantik provokasi pihak tertentu. Apalagi, pada saat bersamaan, Persebaya tengah bersaing dengan Persema Malang dalam merebut posisi puncak klasemen. Dalam situasi seperti ini, otoritas sepakbola Indonesia seharusnya tak memberikan celah bagi munculnya kerusuhan.

Pelajaran kedua, Bonek masih sulit menahan diri jika menyaksikan Persebaya di luar kandang. Ini tugas penting bagi para petinggi kelompok suporter itu dan petinggi Persebaya untuk mengatasi persoalan tersebut. Perilaku Bonek ini mirip dengan suporter Inggris, yang tertib di negeri sendiri, namun hampir selalu bikin ribut jika mendukung kesebelasan kesayangannya di negara lain. Sangat sayang, potensi fanatisme yang seharusnya menjadi aset bagi Persebaya justru kontraproduktif.

Kerusuhan yang terjadi di Gresik sedikit banyak akan berpengaruh terhadap keinginan Persebaya menjadi tuan rumah babak delapan besar Divisi Utama. Manajemen Persebaya harus berupaya keras meyakinkan PSSI. Namun, jika kemudian Persebaya gagal menjadi tuan rumah karena kerusuhan di Gresik, atau bahkan Bonek kembali diberi sanksi, saya rasa itu harga yang pantas diterima oleh Persebaya dan Bonek. Kekerasan dengan dalih apapun memang tidak akan menghasilkan apa-apa, selain abu. (beritajatim.com)

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts