"Kekurangan penerimaan dari sektor ekstraktif (hulu) yang berlangsung terus-menerus tiap tahunnya. Setiap tahun negara mengalami kerugian sebesar Rp 38,4 triliun," kata Ketua Koordinator Divisi Data dan Analisa ICW Firdaus Ilyas dalam jumpa persnya di Jakarta, Kamis (30/4).
Indikasi korupsi, menurut Firdaus, akibat dari dugaan praktik mark-up dana cost recovery (CR) migas sehingga mengurangi bagian penerimaan negara, seperti pengadaan peralatan, pembebanan biaya pemasaran, dan pertukaran minyak dan gas (CPI dan COPI).
"Total kerugian akibat CR hingga semester II 2008 sebesar Rp 50,655 triliun. Misalnya, dari pertukaran minyak mentah dengan gas pada CPI dan COPI grissik (2004-2007) negara rugi 45,4 juta dollar AS," ungkapnya.
Sedangkan dari batu bara, ICW mencatat setidaknya terjadi 42 kasus kekurangan penerimaan negara sebesar Rp 2,5 triliun dan 775,57 dollar AS.
Selain itu, kerugian negara juga akibat tidak transparan dan tidak akuntabelnya pengelolaan sektor ekstraktif. "Kontrak-kontrak penjualan yang di bawah nilai pasar karena lemahnya posisi tawar pemerintah ketika berhadapan dengan kontraktor," paparnya.
Peneliti hukum dari ICW Febridiansyah mengatakan, KPK harus segera menindaklanjuti temuan BPK dan penghitungan ICW untuk mengusut indikasi korupsi tersebut.
"KPK harus mulai masuk dalam ranah ini untuk mengusut dugaan korupsi. Dan memprioritaskan penindakan korupsi di sektor-sektor ekstraktif karena merupakan pemasukan negara yang cukup besar," jelasnya. (tribunkaltim.co.id)
0 comments:
Post a Comment